Oleh:
H. Bambang Eko Muljono, SH.,S.pN.,MM.,M.Hum
Rektor Universitas Islam Lamongan
Dalam banyak kegiatan penyampaian pendapat sering terjadi para mahasiswa menggunakan dalih kebebasan akademik dan kebebasan menyampaikan pendapat dan itu dilindungi oleh hukum.
Kapan seseorang mahasiswa dapat menamakan diri sebagai mahasiswa dalam menyampaikan pendapat dan kapan dia sebagai warga negara sebagaimana anggota masyarakat yang lainnya, batasannya sangat tipis sekali, karena mahasiswa juga sebagai anggota masyarakat.
Pemahaman yang kurang tepat tentang hal ini kiranya dapat merusak perjuangan untuk mendorong Indonesia menjadi negara yang demokratis melalui kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik yang diperjuangkan saat reformasi.
Pada dasarnya, konsep kebebasan akademik diakui dan dihormati secara universal. Di negara kita Indonesia, kebebasan akademik selalu dan dapat dikaitkan dengan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Kebebasan berpendapat yang ada di Indonesia adalah salah satu dari bagian hak asasi manusia yang dimana hal tersebut dilindungi dan dijamin oleh negara. Namun pengutaraan pendapat ini haruslah beserta dengan etika agar tidak ada seorangpun yang merasa tersakiti oleh pendapat yang diutarakan dan tidak menimbulkan fitnah serta perpecahan atau melanggar kebebasan orang yang lainnya.
Untuk itu tentunya dalam menyampaikan pendapat haruslah logis dan tidak asal mengutarakan pendapat. Mereka harus menganalisa dan mengkaji kebijakan yang akan diprotes sehingga mereka memiliki pendapat yang bisa mereka utarakan tanpa melanggar atau menabrak hak kebebasan orang lain.
Kebebasan akademik dalam peraturan perundangan kita diatur secara spesifik yaitu dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (“UU DIKTI”). Pada Pasal 8 ayat (1) UU DIKTI jelas dan tegas menyatakan bahwa: “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.”
Lebih lanjut didalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) ditegaskan bahwa : Yang dimaksud dengan “akademik” dalam “kebebasan akademik” dan “kebebasan mimbar akademik” adalah sesuatu yang bersifat ilmiah atau bersifat teori yang dikembangkan dalam Pendidikan Tinggi dan terbebas dari pengaruh politik praktis. bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya tetapi dibatasi oleh kaidah keilmiahan.
Kebebasan akademik merupakan tiang penyangga kehidupan perguruan tinggi. Kebebasan akademik, sebagaimana disebutkan oleh UNESCO, adalah kebebasan dalam mengajar dan berdiskusi serta kebebasan dalam meneliti, menyebarluaskan, dan menerbitkan hasil riset. Kebebasan akademik merupakan sesuatu yang fundamental di dalam masyarakat perguruan tinggi dalam rangka memberi jalan bagi lahirnya pikiran-pikiran ilmiah dari kaum intelektual kampus yang kreatif dan produktif dengan gagasan-gagasan barunya.
Dengan kebebasan akademik intelektual kampus memiliki kebebasan untuk melaksanakan fungsinya sebagai akademisi atau mengimplementasikan tugas-tugas universitas tanpa intervensi kekuasaan luar.
Hukum positif di Indonesia sudah mengakui akan adanya kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Hal itu dapat kita lihat pada UU DIKTI yang secara jelas dan tegas telah mengaturnya pada pada Pasal 9 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 .Pasal 9 UU Dikti menyatakan :
Pasal 9
(1) Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
(2) Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor dan/atau Dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.
(3) Otonomi keilmuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan otonomi Sivitas Akademika pada suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik.
Timbul pertanyaan bagaimana dengan mahasiswa? Apakah mahasiswa mempunyai kebebasan akademik? Ketika seseorang menamakan diri sebagai mahasiswa, tentu berlaku ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (“UU DIKTI”) dan kebebasan akademik juga berlaku untuk mahasiswa. Mahasiswa, bersama dengan dosen dan tenaga kependidikan, adalah bagian dari sivitas akademika atau warga akademik pendidikan tinggi.
Lebih lanjut pasal 13 UU Dikti menjelaskan bahwa Mahasiswa sebagai anggota Sivitas Akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional. Mahasiswa secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya.Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.
Kebebasan akademik dalam kerangka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (“UU DIKTI”) inilah yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi sebagaimana yang dimaksud Pasal 8 ayat (3) UU Dikti yaitu didasari fakta dan data bukan kebebasan asal muni (asmuni) yang berdasar anggapan dan asumsi hal mana untuk mencegah terjadinya pencemaran nama baik atau pemanfaatan kampus untuk tujuan nonpendidikan.
Demikianlah sedikit penyegaran pemahaman tentang kebebasan akademik dan kebebasan menyampaikan pendapat khususnya untuk sivitas akademika agar kita tidak berulang kali membuat kesalahan tafsir dalam menghadapi kehidupan yang hari ini sudah memasuki era society 5.0 (smart society) pasca pandemi covid-19 ini. (*)