Oleh:
M. Furqon Wahyudi.
Tepat pada tanggal 10 November 2021 Pemerintah Republik Indonesia memberikan penghargaan gelar pahlawan kepada Usmar Ismail sebagai pahlawan nasional. Penganugrahan gelar ini diberikan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Bogor. Usmar Ismail memiliki jejak sejarah yang panjang dalam perjuangan Nahdlatul Ulama, pada tahun 1962-1969 Umar Ismail diberi amanat menjadi ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia yang kita kenal saat ini dengan sebutan (Lesbumi).
Usmar Ismail merupakan putra bungsu yang lahir di bukittinggi pada tahun 1921. Ia adalah putra bungsu dari seorang bangsawan sumatra barat yakni Datuk Tumenggung Ismail dan Siti Fatimah. Usmar Ismail merupakan seorang wartawan, sastrawan, dan sineas terkemuka di negri ini. Pada tahun 1947 Usmar Ismail terpilih sebagai ketua Pusat Wartawan Indonesia (PWI) serta menjadi Anggota DPR-GR mewakili NU pada tahun 1966-1969.
Jejak pendidikan Usmar Ismail yang dikutip dari nu.or.id. ia mengawali pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) tingkat dasar di Batu Sangkar, lalu melanjutkannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Simpang Haru, Padang, dan Algemeene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Setelah itu, ia menempuh pendidikan tinggi di Amerika Serikat, tepatnya di Universitas California, Los Angeles. Di Negeri Paman Sam itu, Usmar mengambil studi sinematografi. Hal tersebut membuatnya semakin kaya dengan pengetahuan dan pengalaman mengenai perfilman. Tak pelak, satu dekade selepas pendirian Perfini, karyanya merambah dunia internasional. Filmnya yang berjudul Perjuangan mendapat anugerah sebagai film terbaik dalam Festival Film Moskow 1961.
Setelah selesai menempuh jejak pendidikan Usmar Ismail merintis dunia perfileman, melihat saat itu kondisi perfileman di indonesia sangat berkembang, Usmar Ismail mulai merintis perkembangan filem di Indonesia dengan cara mendirikan sebuah perusahaan Filem Nasional Indonesia (perfini) pada 30 maret 1950. Pada tahun 50an Usmar Ismail mengeluarkan filem pertamanya yakni ” Darah dan Doa” filem ini diperankan oleh anak bangsa dan sekaligus menjadi karya pertama dari studio filem perfini. Karya pertama Usmar ismail ini mendapat banyak sorotan dari berbagai sudut, sehinggah karya pertama ini menjadi tonggak sejarah perfileman indonesia, maka sudah selayaknya Usmar Ismail mendapat julukan bapak perfileman indonesia.
Selain aktif dalam dunia perfileman Usmar Ismail juga memanfaatkan adanya budaya sebagai jalan dakwah. Dikutip dari nu.or.id bahwa Usmar Ismail mengabdikan dirinya sebagai ketua Lesbumi sejak pendiriannya yakni tahun 1962. Ia selalu aktif dalam bendera Nahdlatul Ulama. Bahkan, saat ia menjadi salah satu anggota DPR mewakili NU yang pada saat itu masih menjadi partai. Ia dianggap sebagai musuh bagi kalangan seniman yang aktif dan bergabung di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Namun, posisinya yang kuat di NU membuat Usmar tidak gentar menghadapi berbagai upaya yang mengusiknya. Keaktifannya dalam tubuh NU dengan latar belakang keluarganya yang agamis memberikan warna tersendiri dalam beberapa film yang dibuatnya. KH Saifuddin Zuhri yang kala itu menjadi Menteri Agama pernah secara khusus meminta pertimbangan kepadanya dan rekanannya di Lesbumi saat hendak membuat film haji berjudul Panggilan Tanah Sutji pada tahun 1963. Hal ini dilakukan Kiai Saifuddin sebagai bentuk perlawanan terhadap Lekra yang merupakan organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Kebudayaan, termasuk film ini, menurut Sekretaris Jenderal PBNU era KH Idham Chalid itu, adalah cara untuk menghadapi PKI yang memiliki paham anti agama.
Terbentuknya lesbumi juga merupakan jalan tengah perseteruan antara politik manifesto yang dibawa oleh Lekra dan Manifes kebudayaan yang dijaga oleh Goenawan Muhamad. Sedangkan Usmar dan lainya membawa nasionalisme religius. Usmar dengan tegas dan terang-terangan dalam menentang pandangan “politik adalah panglima”. Ia menegaskan bahwa agama dan kebudayaan justru merupakan induk lahirnya politik. Artinya politik itu lahir dari pemikiran budaya dan politik. Bagi Usmar, pengaruh film Amerika yang menimbulkan efek negatif, seperti cara bersolek dan berpakaian, bukan sekadar terlarang, tetapi juga haram hukumnya. Apalagi, jika film tersebut secara terang-terangan merusak moral akhlak. (Lihat Usmar Ismail dalam Seniman dalam Karyanya sebagaimana dikutip Choirotun Chisaan dalam Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan, 2008, h. 180).
Usmar Ismail wafat pada 2 Januari 1971 dalam usia yang relatif masih muda, 49 tahun. Dalam sambutannya pada pelepasan jenazah, KH Idham Chalid yang mewakili NU menyebut rekannya tersebut sebagai seniman dan budayawan Muslim yang menjadi ‘Juru Dakwah Islam’. Melihat jejak sejarah Usmar Ismail yang begitu panjang perjuangannya baik untuk negara Indonesia atau Nahdlatul Ulama’ Usmar Ismail layak di anugrahkan menjadi Pahlawan Nasional.