nulamongan.or.id, Malang– Kekayaan bangsa Indonesia tak hanya pada aspek Sumber Daya Alamnya yang melimpah, namun juga keberagaman kultur, agama dan etnisnya. Namun demikian, kekayaan kultural negara Indonesia bagai pisau bermata dua, di satu sisi ia dapat menjadi aset negara, namun pada posisi tertentu bisa berbuah menjadi musibah. Berbagai macam kasus konflik antar agama dan etnis turut mewarnai sejarah kelam perjalanan Indonesia. Sehingga, ancaman disintegrasi senantiasa menghantui setiap laju peradaban zamrud khatulistiwa ini.
Menyadari akan hal itu, sekretrais RMI Lamongan, Ahmad Hanif Fahruddin mengadakan sebuah riset tentang keberhasilan salah satu desa di Kabupaten Lamongan, yaitu Balun. Daerah yang dikenal sebagai desa Pancasila ini, dihuni oleh tiga agama secara harmonis, yaitu: Islam, Kristen dan Hindu. Bahkan di dalam satu keluarga di desa ini, ditemukan perbedaan agama dalam satu rumah.
Desa yang tak jauh dari pusat kota Lamongan ini terbukti berhasil mengelola keragaman agama dan membentuk satu tatanan masyarakat yang harmonis-sejahtera. Hanif, sapaan akrabnya, melakukan penelitian di desa ini untuk menyibak “success story” warga desa untuk dilakukan upaya duplikasi sosial agar diterapkan di desa lain yang memiliki komposisi sosio-kultural yang beragam.
Dengan judul Disertasi “Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Multikultural di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat dalam Mewujudkan Harmonisasi Masyarakat Balun Turi Lamongan” penelitian di berhasil dipertahankan di hadapan tujuh dewan penguji pada hari Rabu (11/8) di ruang sidang Universitas Islam Malang.
Dalam kesempatan tersebut bertindak sebagai ketua penguji adalah Prof. Dr. Maskuri, M.Si yang juga sekaligus promotor penelitian. Sedangkan dewan penguji lain, yaitu: Prof. H.M. Mas’ud Said, Ph.D, Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, Dr. H. M. Hanief, M. Pd, Prof. Dr. H. Djunaini Ghony, Dr. H. Hasan Busri M. Pd (merangkap co promotor).
Dalam penelitiannya ini, Hanif yang juga dosen di Universitas Islam Lamongan ini menyimpulkan bahwa keharmonisan sosial di desa Balun dibangun atas kerjasama dan kesalingpahaman antara multi pihak untuk menjaga kerukunan bersama. Disamping itu, menurutnya, secara meyakinkan telah terjadi proses internalisasi nilai-nilai multikulturalisme yang meliputi nilai toleransi (tasamuh), nilai moderasi beragama (tawasuth), nilai keharmonisan sosial (at-tawazun) dan nilai tolong menolong (ta’awun).
Nilai-nilai ini, dalam temuan Hanif, diinternalisasikan dengan model dialektis-integral oleh multi pihak, yang disebut sebagai tiga pusat (tri centra) pendidikan, baik di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat.
“Sehingga, kunci keberhasilan pengelolaan diversitas kultural di desa ini terletak pada kerjasama tri centra pendidikan di atas” ungkapnya di hadapan dewan penguji.