Dunia pesantren benar-benar mengalami sebuah dilema di awal abad XX, sebab pemerintah kolonial Hindia Belanda, selain membuka politik etis, juga mendukung didirikannya lembaga-lembaga pendidikan umum, meskipun lembaga pendidikan ini hanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi. Akibatnya, kondisi umat Islam saat itu terjepit. Di satu sisi, selain memperjuangkan kemerdekaan, mereka juga harus mempertahankan eksistensi pesantren di tengah cengkeraman pendidikan sekuler ala Barat. Terdapat respon yang cukup bagus dari umat Islam, antara lain, mereka mengikuti jalur yang telah digariskan oleh pemerintah kolonial dengan cara bersekolah di sekolah umum, mereka yang mendirikan madrasah atau lembaga pendidikan yang menggunakan kurikulum ala Timur Tengah, serta mereka yang berusaha menyatupadankan aspek pendidikan ala Barat dengan pendidikan Islam.
Dari kalangan pesantren, misalnya, terdapat nama-nama reformis pendidikan Islam yang berusaha menyeimbangkan pendidikan Islam dengan pendidikan ala Barat. Selain KH. Zarkasyi melalui Pesantren Gontor, ada pula KH. A. Wahid Hasyim yang mendirikan Madrasah Nidzamiyah di Pesantren Tebuireng. Keduanya berusaha membentuk santri yang mampu menmpertahan-kan identitas keislamannya sekaligus mampu mengarungi alam modern. Selain dua nama di atas, ada pula nama KH.BisriSyansuri yang memotori pendidikan bagi kaum perempuan.
Dalam konteks sekarang, apa yang dilakukan oleh Kiai Bisri merupakan pendidikan berbasis jender. Sebab, tatkala Kiai Bisri membuka pendidikan bagi kaum perempuan di Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang, kondisi zaman pada saat itu sangat meminggirkan kaum perempuan. Kiai Bisri, yang merupakan seorang ahli fiqih, ternyata memiliki gagasan cerdas bagaimana menyikapi dinamika zaman, sekaligus mempersiapkan secara visioner peran serta wanita dalam dunia pendidikan.
Saat itu, Denanyar merupakan sebuah desa yang terletak di garis perbatasan antara Kota Jombang dengan daerah pedalaman sebelah barat dan barat laut. Dengan letak yang strategis, didukung adanya pabrik gula yang praktis bertetangga desa, selain memberi manfaat ternyata malah lebih memberi bisa yang sangat negatif dalam kehidupan masyarakat Desa Denanyar. Terkikisnya nilai-nilai moral yang luhur yang ditunjukkan oleh banyaknya pekerja seks komersial (PSK), kekerasan, pembegalan, perampokan, dan pembunuhan menjadi gambaran umum tentang desa ini.
Seiring dengan persoalan-persoalan yang sangat kompleks terutama yang berkaitan dengan kaum wanita pada waktu itu, Kiai Bisri bersama isterinya melakukan sebuah inovasi dengan membuka kelas khusus untuk santri-santri putri. Langkah inovatif ini dimulai pada tahun 1919. Dengan memberikan pendidikan yang sistematis kepada santri putri, dapat dipandang sebagai fenomena yang menarik dalam tradisi pesantren secara umum maupun dalam diri Kiai Bisri sendiri. Dalam tradisi pesantren, pondok pesantren putri Denanyar dipandang sebagai satu-satunya yang ada pada masa itu atau setidaknya di wilayah Jawa Timur.
Rasanya tidak berlebihan kalau Kiai Bisri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kiai Bisri-lah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walaupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya.