Monday, 07 October, 2024

Membincang Aswaja dari Karya Guru-Murid


Oleh

W Eka Wahyudi*

Alaykum bil Jama’ah, begitulah pitutur Nabi Muhammad dalam satu kesempatan saat ditanya mengenai kelompok yang selamat, jika perpecahan telah merejalela maka keselamatan terdapat pada golongan pengikut Kanjeng Rasul dan para sahabat. Dalam sejarahnya, statement Rasul ini menjadi rebutan antar golongan yang mengklaim dirinya sebagai penganut Sunnah yang absah. Perebutan ini pada akhirnya melahirkan satu perpecahan intra-Islam yang tak jarang friksinya terasa dalam hubungan sosial-kemasyarakatan.

Adalah KH Hasyim Asy’ari dan KH Abul Fadhol Senori menulis sebuah kitab yang membahas tentang konseptualisasi ahlu Sunnah wal jama’ah sebagai satu derivasi dari sabda nabi di atas. Jika Kiai Hasyim memiliki karya Risalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka Kiai Abul Fadhol menyusun satu risalah bertajuk al-Kawakibul Lamma’ah.

Kiai Hasyim mengawali risalahnya dengan pembahasan konsep Sunnah dan bid’ah, namun tidak dengan Mbah Fadhol yang lebih memilih mengawali karyanya dengan melakukan jab dan uppercut terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang, mulai dari khawarij hingga syiah dan mu’tazilah.

Kedua karya ini, disusun mewakili zaman dan tantangan yang dihadapi. Sebagai seorang ideolog, Kiai Hasyim justru tampil membela golongan Aswaja sebagai seorang figur lokal yang dalam konteks saat itu jamak menjadi “bulan-bulanan” kelompok reformis-modernis. Sehingga bisa kita lihat dalam karyanya, beliau melakukan pembelaan terhadap ritus-ritus keagamaan lokal yang telah menjadi tradisi muslim di Nusantara. Tema-tema seperti dzikir, ziarah kubur dan fiqh lengkap dengan sistem bermadhab menjadi “hal baru” dalam diskurus karya bergenre teologi yang dilakukan oleh Kiai Hasyim.

Bahkan dalam pembelaannya, Kiai Hasyim menegaskan standarisasi ahlu Sunnah dalam komunitas muslim di Indonesia:

“Umat Islam Nusantara pada mulanya adalah satu madzhab, dan memiliki metode pengambilan hukum yang sama. Dalam fiqih mengambil Imam Syafi’i, dalam teologi mengambil dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari, dan dalam Tashawuf mengambil Imam Ghazali dan Juned al-Baghdadi.”

Menariknya dalam kedua kitab ini, baik Kiai Hasyim maupun Mbah Fadhol melakukan kill streak terhadap pemikiran keislaman yang menyimpang. Apa yang membedakan keduanya? Kiai Hasyim tanpa tedeng aling-aling langsung menyebut nama-nama tokoh yang diberi lampu merah untuk tidak diikuti paham keislamannya, antara lain: Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla, Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, Ahmad bin Taimiyah, Ibnu Qayim al-Jauzi, dan Ibnu Abdul Hadi.

Hal ini nampak berbeda dengan al-Kawakib al-Lamma’ah karya Mbah Fadhol yang lebih melakukan hook dan straight kepada kelompok yang menyimpang, lengkap dengan pecahan-pecahan di dalamnya, seperti: khawarij beserta delapan kelompok pecahannya, Syiah berikut lima kelompok pecahannya dan mu’tazilah sekaligus 12 kelompok pecahannya. Eksplanasi firqah yang dilakukan oleh Mbah Fadhol ini, dilengkapi dengan argumentasi sejarah berikut ulasan mengenai penyimpangan lengkap dengan tokoh kuncinya masing-masing.

Jika kita kategorikan, Risalah Kiai Hasyim setidaknya merangkum beragam tema yang variatif, tidak hanya soal teologi, misalnya: diskursus tentang konsep kelompok mayoritas (sawadul a’dzom), kritiknya terhadap wahdatul wujud, hulul dan ittihad, serta perpecahan dalam tubuh umat Islam. Namun menariknya, Kiai Hasyim juga menyisipkan bahasan dalam diskursus Aswaja tentang konsep bermadzhab fiqh, tradisi keislaman, soal memperlakukan jenazah dan sikap terbaik dalam beragama. Secara heroik, kakek Gus Dur ini tampil tak hanya sebagai teolog, tapi juga “bapak kaum pesantren” yang melakukan pembelaan di garda terdepan dalam mengokohkan argumen amaliyah masyarakat muslim Nusantara.

Terdapat persamaan yang selaras dan senafas antara Risalah Kiai Hasyim dan al-Kawakibnya Mbah Fadhol, bahwa keduanya sepakat tentang sistem bermadzhab dan keniscayaan taqlid kepada para mujtahid. Di sisi lain, guru-murid ini juga kompak dalam melakukan “tendangan pinalti” kepada Ibnu Taimiyah, syiah rafidhah dan kelompok Wahabi. Dengan demikian, Ahlu Sunnah Wal Jama’ah bagi keduanya adalah kelompok umat Islam yang menjaga kemurnian ajaran Islam dengan menginduk kepada para ulama ahli hadits, ahli fiqh dan ahli tafsir yang mu’tabar, yang dalam kesempatan lain juga dikuatkan oleh Kiai Hasyim dalam karyanya yang lain, yaitu Ziyadatu at-Ta’liqat.

Baik Kiai Hasyim dan Mbah Fadhol sama-sama konsisten mengawal ahlu Sunnah sesuai dengan zamannya masing-masing. Beliau berdua tampil bak gemintang yang menerangi kegelapan umat dalam berIslam. Bila peran Kiai Hasyim lebih menonjol sebagai Bapak yang mengayomi dengan melakukan pembelaan terhadap tradisi keagamaan, maka Mbah Fadhol berusaha memperkuat kuda-kuda teologi Sunni melalui argumen history of thought kelompok-kelompok non-sunni beserta penyimpangannya.

Perpaduan yang klop: Sang Guru meluruskan tuduhan, Sang Murid membuktikan penyimpangan sang penuduh.

*Ketua Lakpesdam NU Lamongan/ Direktur Media Centre NU Lamongan

0 comments on “Membincang Aswaja dari Karya Guru-Murid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *