Oleh:
Ah. Syauqi Arif*
Ketokohan Kyai Muhtadi begitu melegenda dikalangan masyarakat, sebagai seorang ulama dan pemimpin umat di daerah kecamatan Paciran Lamongan Namanya tetap harum dan menjadi yang terdepan dan dicintai oleh rakyat. Sosok pribadi Santun, rendah hati serta bersahaja ini telah lahir pada tahun 1908 Masehi di Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Beliau adalah putra ke enam dari KH. Musthofa (Desa Kranji-Paciran) bin K.H. Abdul Karim ( Desa Tebuwung-Gresik ) Ulama yang terkenal karena karisma ilmu dan sifatnya yang welas asih pada masyarakat. Ibundanya bernama Nyai Aminah binti K.H. Moh. Sholih Tsani ( Bungah Gresik ), ulama yang kharismatik yang teguh memegang pendirian demi tegaknya Islam di bumi pertiwi.
KH. Ahmad Muhtadi merupakan salah satu ulama besar yang memiliki peran dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial. Pengaruh KH. Ahmad Muhtadi semakin kuat ketika menjadi salah satu penggerak pasukan Hizbullah Pantura Lamongan. Pemikiran-pemikiran KH. Ahmad Muhtadi kerap kali menjadi landasan perjuangan Masyarakat Pantura Lamongan. Salah satunya ialah semangat jihad yang selalu dikobarkan untuk membebaskan Indonesia dari kungkungan kaum penjajah. Berjihad membela kebenaran dan menegakkan keadilan merupakan salah satu sikap yang selalu diperjuangkan KH. Ahmad Muhtadi. Salah satu landasan perjuangan KH. Ahmad Muhtadi ialah firman Allah SWT dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 218. Dalam ayat tersebut dijelaskan bagaimana orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah termasuk kategori orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat Allah yang sangat luas.
perjuangan KH. Ahmad Muhtadi sangat frontal terhadap kebiadaban Pemerintah kolonial Belanda, Sebab, KH. Ahmad Muhtadi tidak ingin menyaksikan kekejaman merajalela di Negerinya khususnya di wilayah Pantura Lamongan. Segala bentuk kekejaman harus ditumpas karena hanya akan membuat tatanan kehidupan hancur dan masa depan menjadi suram. Kegigihan KH. Ahmad Muhtadi dalam berjuang melawan penjajahan mendapatkan pengawasan ketat dari pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial melihat sosok KH. Ahmad Muhtadi sebagai tokoh yang berpengaruh dalam menggerakkan massa. Pemerintah kolonial tidak ingin perjuangan bangsa Indonesia semakin membara karena dorongan dari KH. Ahmad Muhtadi
KH. Ahmad Muhtadi tidak ingin berkompromi dengan Belanda di tengah tekanan yang terus dilancarkan untuk menduduki dan menguasai Indonesia. KH. Ahmad Muhtadi menganggap bahwa menyerah terhadap penjajah sama artinya mengkhianati bangsa dan Negara. Hal itu sangat bertentangan dengan prinsip Islam. Kebencian pemerintah kolonial terhadap KH. Ahmad Muhtadi berangkat dari pengaruhnya yang luas dalam menggerakkan massa; apalagi beliau sangat berperan sentral dalam gerakan pasukan Hizbullah pantura Lamongan yang di komandani oleh KH. Amin Musthofa.
Sepak terjang KH. Ahmad Muhtadi yang sangat brilian dan agresif, membuat pemerintah kolonial dipaksa memeras otak untuk menaklukkannya. KH. Ahmad Muhtadi dianggap sebagai penggerak yang cukup berbahaya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di wilayah Pantura Lamongan. Sehingga, seluruh aktivitas yang dijalani KH. Ahmad Muhtadi tidak pernah lepas dari pengawasan Belanda. Dalam situasi tersebut, KH. Ahmad Muhtadi tetap menjalankan segala aktivitas sosial-keagamaannya dengan penuh semangat. Beliau terus memberikan semangat dan motivasi kepada Masyarakat dan santri-santrinya untuk terus berjuang hingga tetes darah penghabisan.
KH. Ahmad Muhtadi mengobarkan semangat perjuangan bangsa Indonesia melalui fatwa-fatwanya. Fatwa yang didapat dari Guru tercintanya yaitu KH. Hasyim Asy’ari . fatwa yang membakar api revolusi dan menggoncang sendi-sendi imprealisme Belanda adalah pernyataannya tentang wajibnya jihad dengan kekuatan dan merebut kemerdekaan dari tangan kaum penjajah. Banyak di antara pemuda-pemuda yang responsif dan aspiratif menyambut pernyataan beliau. Sehingga, mereka dengan suka rela bergabung dengan barisan para pejuang. Bergabungnya ratusan pemuda-pemuda Pantura Lamongan inilah yang juga dianggap sebagai batu sandungan oleh pemerintah kolonial untuk memantapkan cengkraman eksploitasinya di bumi Indonesia. Dianggap sebagai batu sandungan karena Belanda melihat potensi kaum muda cukup besar untuk dijadikan sebagai patner untuk bersama-sama menjalin kerja sama.
elanda menganggap KH. Ahmad Muhtadi sebagai tokoh penggerak yang telah membuyarkan harapan serta rencananya ke depan. Hal ini sangat logis lantaran barisan pemuda cukup kuat dan sangat dikhawatirkan oleh Penjajah. Penjajah mencoba mencari celah yang memungkinkan adanya peluang untuk mengendorkan semangat para pemuda yang tergabung dalam barisan para pejuang. Akan tetapi untuk melaksanakan upaya tersebut, Penjajah sadar betul bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh pertama-tama adalah menghabisi aktor di balik terbentuknya barisan para pemuda yang mempunyai komitmen tinggi dalam merebut kemerdekaan. Penjajah ingin untuk segera membubarkan barisan pemuda tersebut dengan terlebih dahulu membujuk aktornya. Aktor yang dimaksud tidak lain adalah KH. Ahmad Muhtadi. Belanda berkeyakinan bahwa apabila sang aktor itu sudah berhasil dibujuk dengan berbagai cara, maka otomatis bawahannya akan mengikuti pula.
Alhasil pada masa agresi militer Belanda II KH. Pada hari Selasa Wage tanggal 9 Ramadlan 1368 H/5 Juli 1949 M sekitar jam 04.00 pagi rumah beliau (sekarang di depan langgar wirid) dibakar habis beserta buku buku karangan beliau dengan cara dibom granat genggam, K.H. Ahmad Muhtadi ditawari Jabatan untuk menjadi Kepala Desa bawahan Belanda untuk membawahi Sendangagung, Sendangduwur, Payaman, Solokuro dan sekitarnya. Tetapi karena semangat juang dan semangat nasionalismenya sangat kuat semua tawaran tersebut di tolak mentah mentah.
Kemudian pada hari Sabtu pon, tanggal 13 Ramadlan 1368 H/9 Juli 1949 M bersama dengan adik kandungnya (KH. Amin) beliau dibawa oleh Belanda dari Paciran ke arah timur, setelah sampai di suatu tempat di tepi jalan desa Dagan Solokuro. mereka berdua di siksa dan di aniaya, saking kesalnya Belanda karena beliau tak terluka dan ditembak tidak terasa, Belanda menggunakan kelicikan dengan mengancam akan membunuh keluarga dan para santri-santrinya beliau tak berdaya mendengar ancaman tersebut.
Demi para keselamatan para santrinya dengan menangis dan berdo’a kepada Allah semua kesaktian dilepas. Akhirnya beliau bersama adik kandung dan para pejuang lain gugur. Setelah beliau semua gugur, dengan disaksikan oleh pemuda kecil bernama Qomari, putra dari modin Desa Dagan Kecamatan Solokuro, akhirnya jenazah beliau semua itu makamkan oleh masyarakat desa Dagan dengan tempo satu jam. Untuk itu masyarakat desa Dagan menggali dua lubang yang berjajar dengan jarak ± 3 meter, lubang barat untuk mengubur KH. Amin, K.H. Ahmad Muhtadi (Tengah) dan modin Klayar. Lubang timur untuk mengubur Reso, Sehat dan dua orang teman lagi yang belum jelas siapa mereka. Mengingat beliau semua itu gugur di dalam membela kemerdekaan negara Republik Indonesia, maka makam beliau ditetapkan oleh pemerintah sebagai Taman Makam Pahlawan.
Sudah selayaknya, momentum hari kemerdekaan ini dimaknai dengan kegiatan kegiatan yang nantinya melahirkan spirit baru yang menumbuhkan jiwa-jiwa ulama yang menjadi tuntunan dan teladan bagi masyarakat.
Untuk para Pahlawan Republik Indonesia yang telah gugur… Alfatihah…
*Pengurus PC Lakpesdam NU Lamongan, Penulis Buku Memoar Perjuangan KH Ahmad Muhtadi