Oleh:
W Eka Wahyudi*
Kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Lamongan saat ini terletak tepat di Jalan Kiai Amin. Banyak orang yang tidak tahu, khususnya generasi muda saat ini, tentang sosok di balik nama Kiai Amin, siapa dia, apa kiprahnya sehingga diabadikan menjadi nama jalan. Pasalnya, hanya orang-orang yang memiliki konstribusi besar yang namanya diprasastikan menjadi sebuah nama jalan.
Sebelum kita bahas kiprah di balik nama itu, mari berselancar dulu dalam jejak sejarah kemerdekaan tepatnya saat revolusi perang fisik di kota Soto ini.
Kiai Amin: Ulama cum Pejuang Kemerdekaan
Diantara daerah-daerah lain, Lamongan termasuk salah satu kawasan yang “beruntung” karena cenderung bebas dari serangan agresi militer Belanda I, namun perlawanan sengit masyarakat dan laskar rakyat banyak terjadi pada Agresi Militer Belanda II, yang akan dibahas pada bagian akhir tulisan ini.
Karena infiltrasi pasukan kolonial pada etape pertama agresi belum masuk ke dalam kawasan Lamongan, maka para pasukan tempur dari Kiai-Santri yang tergabung dalam barisan Hizbullan dan Sabilillah banyak dikirim untuk menambah kekuatan pejuang kemerdekaan ke Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945.
Adalah KH Mohammad Amin Mustofa atau yang lebih dikenal dengan panggilan Kiai Amin, seorang ulama-pejuang dari Tunggul, Paciran mengirimkan bala pasukannya untuk mensuplay tenaga kavileri santri untuk melakukan perlawanan melawan agresi militer Belanda di jantung kota Surabaya. Ia saat itu menjadi komandan Hizbullah yang membawahi tiga wilayah pantura sekaligus: Lamongan, Tuban, dan Gresik.
Kiai Amin lahir pada tahun 1910 M di desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Ia merupakan putra dari pasangan KH Musthofa Abdul Karim -pendiri Pondok Tarbiyatut Tholabah Kranji—dan Nyai Hj Aminah binti KH Moh. Sholeh Tsani dari Bungah Gresik. Ia pernah belajar di beberapa pondok pesantren besar yang diasuh oleh para kiai raksasa Nahdlatu Ulama, seperti: PP Tebuireng, Termas, Ngelom-Sepanjang, Kediri dan Maskumambang. Bahkan di tahun 1936 pernah bermukim dan belajar ilmu agama di Mekkah.
Kiai Amin merupakan anak ketujuh dari 10 orang bersaudara, dua perempuan: Maryam dan Sofiyah Serta delapan laki-laki: Kiai Abdul Karim, Kiai Moh. Sholeh, Kiai Ahmad Muhtadi, Kiai Abdur Rahman, dan Kiai Abdullah.
Sebagai komandan Hizbullah, Kiai Amin mempunyai jaringan yang sangat kuat kuat dengan para Kiai di Jombang, Solo dan Yogjakarta. Ketika terdengar bahwa Belanda akan menyerang Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945, Kiai Amin menggelar rapat dengan beberapa Kiai di wilayahnya. Menurut penuturan Kiai Hazim, sebagaimana dicatat dalam buku Zainul Milal Bizawie- pertemuan Kiai Amin dilakukan di daerah Blimbing, Paciran bersama dengan Kiai Ridlwan Syarqowi (Pendiri Ponpes Muhamadiyah Paciran). Kiai Hazim menjadi saksi pertemuan para Kiai di Jawa bagian Utara tersebut yang dihadiri oleh Kiai Adnan Noer, KH Anshory dan KH Sa’dullah. Pertemuan inilah yang ditindak lanjuti dengan pengiriman pasukan untuk di delegasikan ke Surabaya dalam melawan kolonial Belanda yang dibonceng NICA.
Bahkan ia bersama ribuan santri berangkat ke Surabaya untuk menggempur tentara Inggris yang didanai sendiri dengan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin. Pada pertempuran Surabaya tersebut, tidak sedikit santri-santri Lamongan ambyur ke medan perang yang dipimpin oleh Kiai Amin dan bergabung dengan elemen perlawanan lain , seperti Badan Perjuangan Rakyat Indonesia (BPRI) yang dipimpin oleh Bung Tomo, Pesindo dan lain-lain.
Pada pertempuran di daerah Benjeng (barat kota Surabaya) pada tanggal 2 Mei 1946, lima orang putera Lamongan anggota Lasykar Hizbullah pimpinan Kiai Amin, yakni Khairul Huda, Djamil, Askan, Sutadji, dan Abdullah gugur di medan laga. Makam para syuhada’ ini bisa dilacak pemakaman Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa Lamongan.
Kiprah perlawanan Kiai Amin ini, terhenti saat agresi milier Belanda II. Beliau tertangkap, disiksa dan ditembak di desa Dagan. Beliau gugur bersama kakaknya, Kiai Ahmad Muhtadi dan lima orang kawannya. Karena kiprah perjuangannya melawan kolonialisme, bahkan sampai ujung usianya berhadapan dengan penjajah, nama Kiai Amin sebagai syuhada diabadikan menjadi nama jalan. Sebuah ruas jalan di Kota Lamongan yang saat ini berdiri tegak kantor PCNU Lamongan.
Pasukan Lamongan dalam Agresi Militer II
Pada tanggal 18 Januari 1949, walaupun eskalasi di beberapa daerah jajahan kolonial mulai meredup, Lamongan justru menjadi awal mula serangan langsung. Kota Lamongan mendapatkan serangan pasukan Belanda yang mulai bergerak dari arah Selatan. Pada tanggal 18 Januari 1949, pukul 13.00 WIB, Kota Lamongan berhasil diduduki dan dikuasai oleh serdadu-serdadu Belanda, setelah melawan TNI, rakyat dan para pejuang RI lainnya. Sehingga membuat pemerintahan di Kabupaten Lamongan harus mengungsi ke luar Kota Lamongan, sedangkan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dilakukan di desa- desa yang dijadikan sebagai tempat pemerintahan darurat, seperti misalnya di Desa Mertani, Kecamatan Karanggeneng.
Melihat situasi di daerah Lamongan, Komandan Brigade XXX/ Ronggolawe, Letkol Sudirman mengintruksikan Seksi I Nurcahyo dan Seksi II Ronggodihar untuk melakukan penghadangan terhadap iring-iringan patroli pasukan Belanda di sekitar hutan daerah Kecamatan Ngimbang dan Kecamatan Modo. Seksi II Ronggodihar bertugas di kawasan Hutan Girik, Ngimbang, sedangkan seksi I Nurcahyo bertugas melakukan penyergapan di hutan Modo. Namun, ekspedisi penyergapan ini tidak berhasil maksimal, pasukan Nurcahyo berhasil dipukul mundur oleh serangan kejut Belanda, sehingga sisa pasukan melakukan gerilya. Di sisi lain, pasukan Ronggodihar sukses melakukan penyerangan yang mengaibatkan serdadu Belanda mundur.
Melihat keberhasilkan pasuran Rongodihar, pasukan pejuang Karesidenan Bojonegoro yang tergabung kedalam Kesatuan Mobille Brigade (Mobrig) dibawah komando Komandan Kompi Aipda (Ajun Inspektur Polisi Dua) Suharsono, berinisiatif untuk melakukan hal yang sama di Kecamatan Sugio dan Kecamatan Kedungpring. Namun dalam perjalanannya mereka kalah bertempur melawan serdadu-serdadu Belanda.
Pada bulan Februari 1949 pukul 06.30 WIB, di Desa Plosobuden, Kecamatan Deket, Seksi I yang dipimpin Letnan Muntalib dari Kompi Kardomo Batalyon Sunaryadi menerima laporan dari para pemuda desa, bahwa ada sepasukan tentara Belanda mulai mendekat ke Desa Plosobuden dari arah Kecamatan Duduk Sampeyan, yang dulu masuk wilayah administratif Kabupaten Surabaya, pertempuran berlangsung dan dimenangkan pasukan republik.
Sejak terbentuknya pemerintahan militer Kabupaten Lamongan pada bulan Maret 1949, grafik perjuangan pasukan republik di Kabupaten Lamongan mulai menunjukkan kenaikan, dengan munculnya peristiwa-peristiwa heroik dan dramatis dalam mengusir penjajah yang dilakukan para pejuang RI di Kabupaten Lamongan, seperti pertempuran di Desa Gumantuk Regu I Kadet Suwoko (sekarang menjadi salah satu nama Jalan di Lamongan) pasukan tamtama KDM Kabupaten Lamongan, pertempuran di Lapangan Desa Palang Regu VI Sersan Nurali pasukan tamtama KDM Kabupaten Lamongan, dan pertempuran-pertempuran para pejuang RI lainnya di Kabupaten Lamongan pada masa revolusi fisik.
Selama enam bulan pertempuran melawan pasukan Belanda, korban dari pihak tentara- tentara Belanda relatif lebih besar dibandingkan dengan korban di pihak pasukan Lamongan. Tercatat pihak Belanda mengalami korban tewas 139 pasukan, luka-luka 29 orang dan tertawan 11 orang. Korban dari pihak RI dalam rentang waktu enam bulan (18 Januari 1949 s/d 19 Juni 1949) tercatat sebanyak 40 tentara gugur, 11 tertawan dan 12 orang terluka. Adapun korban dari warga sipil 335 orang tewas dan 93 mengalami luka-luka. Dalam serangan agresi Belanda II itu, tercatat 178 ternak warga mati, 1.070 rumah dibakar lengkap dengan 840 kwintal lumbung pangan masyakat.
Kepada para syuhada’, lahum al-Fatihah….
*Ketua Lakpesdam NU Lamongan